Header Ads

SENI UPACARA ADALAH MITIGASI DAMPAK BENCANA, BUKAN SEBALIKNYA

SENI UPACARA ADALAH MITIGASI DAMPAK BENCANA, BUKAN SEBALIKNYA

Kelompok Salah Paham mengatakan bahwa sedekah laut adalah musyrik dan mubazir. Karya Upacara Kebo Ketan di Ngawi pernah diancam pemuda pendukung Kelompok Salah Paham di fesbuk, akan dibom karena musyrik. Seorang politisi lokal Ngawi, katakanlah dari Parte Ndas Pitik (bukan nama sebenarnya), juga pernah mengecam bahwa Upacara Kebo Ketan adalah musyrik dan mubazir. 

Saat kita masih berduka dan trauma akibat bencana beruntun di Lombok dan di Sulawesi, Makar Kelompok Salah Paham memanfaatkan situasi untuk menggendam masyarakat dan menyodorkan lagi gagasan bahwa bencana terjadi karena maksiat yang dibuat masyarakatnya, dan maksiat itu adalah tradisi kita, misalnya tari Gandrung Banyuwangi atau Sedekah Laut di pantai Selatan. 

Dengan cepat mereka bergerak. Salah satu ormas dari kalangan Kelompok Salah Paham di Banyuwangi menolak tarian Gandrung yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Di Bantul sekelompok pengecut bercadar dengan sok jago mengobrak-abrik persiapan sebuah upacara sedekah laut. Di Sulawesi Selatan, wakil Gubernur mengedarkan surat yang intinya menolak seni dan budaya yang mengandung musyrik, karena dari sudut agama mendatangkan bencana. Artinya ia menuduh tanpa memeriksa, menghakimi bahwa seni budaya adat moyangnya adalah musyrik.

Gendam Kelompok Salah Paham ini, perlu diterangi nalar agar kekenthiran mereka tidak meluas di Bangsa yang mudah ditipu dengan apapun yang berbau agama ini. Seluruh bagian dari Makar Kelompok Salah Paham perlu ditatar bahwa hampir semua ritual Adat di Nusantara, alih-alih mendatangkan bencana alam, JUSTRU merupakan upaya mitigasi terhadap bencana alam.

Kelompok Salah Paham sangat mengerti dan dapat menjelaskan bahwa orang yang menyembah sampai bersujud-sujud kepada suatu bangunan batu kubus di Makkah, bukan musyrik. Pun ketika mereka berebut mencium  batu meteor yang berwarna hitam di salah satu sudutnya. Itu bukan musyrik. Kegiatan menabung bertahun-tahun untuk pergi ke kota Makkah dan melakukan ritual berlari-lari keliling bangunan batu kubus itu dan berlari-lari antara dua titik yang menuruk alkisah dahulu merupakan rute lari Ibu Hagar ketika panik mencari air untuk bayinya yang haus, juga bukan ritual musyrik. Biaya puluhan juta rupiah yang digunakan untuk membiayai setiap satu orang untuk datang ke Makkah melakukan upacara tersebut setidaknya sekali dalam hidupnya, bukan mubazir!

Para tokoh Kelompok Salah Paham itu tidak cukup ilmu dan tidak punya hak untuk memvonis berbagai Upacara Adat dan karya seni sebagai musyrik. Mereka memang Salah Paham, namun menempatkan diri mereka terlalu tinggi, semacam penasihat atau pembimbing Allah SWT. Mereka mengambil alih Hak Allah, memvonis musyrik dan menghukum pelaku-pelakunya bahkan  dengan kekerasan, mungkin untuk meringankan pekerjaan Allah SWT yang butuh mereka bantu.

Musyrik adalah dosa besar mengadakan ilah di sisi Allah. Kontekstualnya dewasa ini yang paling sering dijadikan ilah di sisi Allah adalah uang. Bukan seni upacara. Menyalahpahami seni upacara sebagai musyrik di Negara berseni dan kaya budaya seperti negara Indonesia yang terdiri dari bangsa-bangsa Nusantara ini, adalah mengundang suatu bencana kebudayaan. Dari sisi agama yang introspektif dan bukan yang arogan, memusyrikkan adat dan seni kekayaan bangsa kita adalah membantu lanun merampok orangtua kita, dan sekaligus aksi menempatkan diri sendiri dengan pongah di sisi Allah sebagai seilmu denganNya, bahkan lebih tinggi.

Bencana alam seperti banjir dan badai akibat penggundulan hutan, kelalaian menjaga saluran-saluran air dan pemanasan global, dapat disebut akibat ulah manusia. Tapi bencana akibat pergerakan lempeng bumi atau aktifitas perut bumi seperti letusan gunung api dan gempa, tidak disebabkan oleh ulah manusia. Kecuali pulau Kalimantan yang banyak dihuni bangsa Dayak yang tidak beragama Islam, seluruh kepulauan kita rawan gempa dan letusan gunung api.

Sejak dahulu kala kebudayaan kita terbentuk oleh kenyataan alam tersebut. Arsitektur tradisi, mitos, legenda dan kepercayaan, semua terbentuk oleh kenyataan alam kita. Termasuk Upacara-Upacara Adat yang dituding musyrik oleh Makar Kelompok Salah Paham itu, dibentuk oleh keadaan rawan bencana dan bertujuan untuk memitigasi dampak daripada bencana itu. Di sinilah pada pendukung Makar Kelompok Salah Paham mengukur badan nenek moyang, yang lebih bersih dan besar berotot dari badan mereka, dengan ukuran baju mereka yang cingkrang.

Bukan hanya arsitektur tradisional kita yang tahan gempa, masyarakat kita juga tahan gempa, letusan gunung api, banjir, longsor, dan tsunami.

Ketahanan masyarakat itu sedemikian rupa sehingga di lereng gunung Merbabu yang berhadapan dengan jurang yang memisahkannya dengan gunung Merapi yang sering meletus, warga memiliki tradisi menampung keluarga dari desa di lereng Merapi setiap kali Merapi meletus. Warga di desa Banyurata di lereng Merbabu itu sampai memiliki desain furnitur khusus, sebuah amben besar diletakkan di ruang tamu, bukan hanya meja dan kursi, dan amben besar itu mampu menampung satu keluarga pengungsi dari lereng Merapi.

Saat Merapi meletus di tahun 2010, tradisi warga Banyurata ini diangkat oleh Prof. Irfan D. Prijambada  dan KH Dr Zastrouw Al-Ngatawi  sehingga menjadi perhatian dan kini konon menjadi Perda di Kabupaten Magelang bahwa saat terjadi bencana, sistem “satu keluarga satu sodara” ini diberlakukan secara luas.

Solidaritas, kohesi sosial, seperti yang ditunjukkan warga desa Banyurata itu, diteguhkan dan dirawat dengan seni upacara. Alih-alih musyrik dan mubazir, upacara Adat mengokohkan kohesi sosial menghadapi bencana apapun.  Sebaliknya di daerah yang kohesi sosialnya sudah sukses digerus permainan politik identitas oleh Makar Kelompok Salah Paham, maka setiap bencana alam senantiasa disusul oleh perampasan dan penjarahan.

Upaya-upaya Makar Kelompok Salah Paham di Sulawesi, di Banyuwangi, di Bantul dan di Cilacap untuk meneror dan menggendam masyarakat agar merusak sendiri sendi-sendi kebudayaannya, demi untuk kepentingan politik dan ekonomi asing, dengan dalih ngawur bahwa upacara adat adalah syirik dan mengundang bencana alam, justru akan membuat bencana alam semakin parah ketika, tak lari gunung dikejar, ia terjadi di kawasan cincin api geologi ini.

Seni upacara dan ritual budaya dan adat, adalah kekayaan kita. Kekayaan yang menguatkan mitigasi dampak bencana. Tanpa keloloden dalil anak SD juga tau bahwa membela harta dari perampokan oleh Makar Kelompok Salah Paham memiliki nilai jihad di dalam agama.  Adat harus dibela, dilestarikan, dikembangkan agar selalu relevan. Satu kata untuk Makar Kelompok Salah Paham: TUMPAS!

Repost link https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10155495854071199&id=545031198






Loading...

No comments