Header Ads

Nurtanio dan 'Sikumbang' Pesawat anti-Gerilya Hasil Karyanya

Nurtanio dan 'Sikumbang' Pesawat anti-Gerilya Hasil Karyanya


Jakarta, CNN Indonesia -- Langit runtuh, sukma luruh. Hari itu, 21 Maret 1966, pesawat yang dipiloti Nurtanio Pringgoadisurjo jatuh. Nestapa menggelayut di angkasa Bandung. Angkatan Udara Republik Indonesia berkabung, gugur lagi sayap pelindung. 
Nurtanio dan 'Sikumbang' Pesawat anti-Gerilya Hasil Karyanya
pic. google.com

Nurtanio pergi di usia cukup muda, 42 tahun. Duka menyerbu kerabat sahabat, tak terkecuali dua karib Nurtanio: Wiweko Soepono dan Jacob Salatun. Tak membuang waktu, Wiweko langsung terbang ke Bandung bersama Salatun dengan pesawat Beechcraft 18 yang ia kemudikan sendiri.

Sepanjang perjalanan, kedua kawan kental Nurtanio itu tertegun, terpekur. “Kita sekarang tinggal berdua,” kata Wiweko kepada Salatun, sendu.

Nurtanio, Wiweko, dan Salatun dikenal sebagai tiga serangkai perintis dirgantara. Mereka memulai karier bersama saat Indonesia masih bayi baru lahir dan AURI masih bernama Tentara Keamanan Rakyat Jawatan Penerbangan.

Sebelum itu, Salatun dan Wiweko telah mengenal Nurtanio. Salatun ialah adik kelas Nurtanio di Sekolah Menengah Tinggi Teknik atau Kogyo Senmon Gakko di Sawahan, Surabaya, Jawa Timur. Salatun bergabung dengan Junior Aero Club yang didirikan Nurtanio di sekolah itu.

Sementara Wiweko sudah berkorespondensi dengan Nurtanio sejak Nurtanio duduk di bangku sekolah di Semarang, Jawa Tengah. Nurtanio lebih dulu bersurat kepada Wiweko di Bandung. Ia tertarik dengan perkumpulan pembuat pesawat model yang dibentuk Wiweko, yakni Bandoengsche Jeugd Luchtvaart Club atau Bandung Youth Aviation Club.

Dari surat-menyurat dengan Wiweko itulah Nurtanio belajar tentang aeromodelling serta pengorganisasian dan manajemen klub. Keduanya, bersama Salatun, adalah penggila pesawat terbang yang punya satu lagi kesamaan: berlangganan majalah kedirgantaraan berbahasa Belanda, Vliegwereld.

Di kemudian hari, tiga sekawan itu berperan penting dalam industri penerbangan Indonesia. Nurtanio ialah pendiri Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip) –cikal bakal Industri Pesawat Terbang Nusantara yang kini bernama PT Dirgantara Indonesia.

Salatun mendirikan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), sedangkan Wiweko ditunjuk Presiden Soeharto menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia untuk menyelamatkan Garuda yang kala itu berada di ambang kebangkrutan.

Buat pesawat tempur

Sejak kecil Nurtanio menggilai berbagai buku dan majalah teknik penerbangan. Diceritakan dalam buku Nurtanio: Perintis Industri Pesawat Terbang Indonesia, dia kerap mengajak adiknya, Nurprapto, pergi ke Lapangan Terbang Kalibanteng Semarang (kini Bandara Achmad Yani) untuk melihat pesawat.

Saat itu akhir 1930-an, pesawat jarang melintasi Semarang. Maka jika ada Fokker mendarat, Nurtanio amat senang. Dia mencermati tiap gerakan pesawat itu, dari ketika pesawat masih di langit, mulai turun, terbang rendah, hingga menyentuh landasan.

Seakan itu tak cukup, Nurtanio mencari tahu kapan pesawat itu bakal terbang lagi. Dia lantas kembali pada hari pesawat tersebut akan lepas landas, dan lagi-lagi mengamati seluruh aktivitas pesawat.

Hal itu juga ia lakukan saat bersekolah di Yogyakarta. Nurtanio akan pergi ke Sekip –lapangan terbang pertama di Yogya– untuk menyaksikan berbagai pesawat terbang lepas landas dan mendarat.

Setelah bergabung dengan AURI, Nurtanio mewujudkan tekadnya membuat pesawat terbang. Saat menjabat Komandan Depo Perawatan Teknik Udara, Nurtanio membentuk Bengkel Kecil Percobaan dengan tim kecil berisi 15 personel. Pagi hari mereka merawat dan memperbaiki pesawat, siang ke sore merancang pesawat.

Meski peralatan teknik saat itu serba terbatas, Tim Nurtanio tak berserah. Hanya dalam waktu setahun, mereka berhasil membuat pesawat tempur antigerilya Sikumbang. Ini adalah pesawat pertama karya Indonesia yang seluruhnya terbuat dari logam.

“Nurtanio mengubah sepenuhnya dari pesawat yang sudah ada. Pesawat tua disesuaikan dan disempurnakan menjadi lebih modern. Bukan sekadar pesawat yang bisa terbang, tapi bisa aerobatik,” kata Suharto, kawan Nurtanio lulusan Institut Teknologi Bandung dan Universitas Teknologi Braunschweig Jerman, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (18/3). 

Suharto mengikuti pembuatan Sikumbang di Andir, Bandung. “Saya melihat terus dari proses pengikiran, pemotongan, sampai Sikumbang diuji terbang. Saya ingat sekali. Itu tahun 1954,” ujar pria yang kini berusia 83 tahun itu.

Satu Agustus 1954, Sikumbang terbang perdana di atas Lanud Husein Sastranegara dipiloti Kapten Powers asal Amerika. Pesawat itu mendapat aplaus meriah dari warga Bandung dan atase militer negara-negara asing yang menyaksikannya diuji.

Sikumbang mendapat sorotan internasional dan dimuat di majalah penerbangan Amerika, Inggris, Jepang, sampai Filipina (Nurtanio lulusan Far Eastern Air Transport Incorporated University di Manila). Sikumbang bahkan masuk ke publikasi tahunan penerbangan dunia Jane’s All the World’s Aircraft.

Kesuksesan Sikumbang disusul oleh deretan karya Nurtanio lain –pesawat latih Belalang, pesawat olahraga Kunang, pesawat penyemprot hama Kinjeng, helikopter ‘kursi terbang’ Gyrocopter Kolentang, dan pesawat serbaguna Gelatik. 

Disiplin ketat 

Nurtanio menganut pola hidup disiplin tinggi. Sebagai pembuat pesawat, sang perwira AU berpegang pada kedisiplinan, kejujuran, dan ketelitian. Tak ada kata ‘tak akurat’ dan ‘terlambat’ dalam kamus Nurtanio.

“Dia mengerjakan pesawat untuk manusia, maka menerapkan disiplin ketat. Orang lain belum datang, dia pasti sudah datang. Apel mulai jam 07.00, dia jam 06.30 sudah keliling mengecek pekerjaan,” kata Darwis dan Walgito, dua anak buah Nurtanio yang dulu bekerja di bagian produksi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (Lipnur) yang kemudian berubah nama menjadi IPTN.

Saking teliti, Nurtanio mengecek debu di kaca jendela tiap pagi. Ini karena kebiasaannya mengecek debu di pesawat, sehubungan dengan kondisi pesawat yang tak boleh berdebu.

“Debu menahan kelembapan air atau kondensasi. Sekrup berdebu lambat laun akan berkarat karena kondensasi. Itu tak boleh terjadi karena terkait keselamatan,” kata Walgito di Bandung, Selasa (5/4).

Pada zaman itu, ujar Walgito, bor patah pun dicatat detail. “Kalau mengebor kan suka patah karena kecil sekali ukurannya 2,3 milimeter. Jika menekan terlalu keras akan patah. Nah itu dibuat surat, patahnya karena apa, lantas ditandatangani. Lengkap dan teliti.”

Selain ketelitian di tiap bor, ada pula kejujuran di tiap paku. “Umpamanya satu lembar materi pesawat harus dipaku keling 10 butir dengan jarak 2,5 sentimeter. Itu harus tepat, tak boleh kurang atau lebih. Di situ ada kejujuran, tak boleh mengakal-akali,” kata Walgito.

Falsafah kedisiplinan, kejujuran, dan ketelitian yang selalu ditekankan Nurtanio pada para bawahannya ini tak bisa dianggap remeh karena menentukan keselamatan pilot dan penumpang pesawat.

Nurtanio Pringgoadisurjo kerap menginap di kantor pada awal berdirinya Angkatan Udara Republik Indonesia. (Dok. Pribadi)
Nurtanio amat memperhatikan anak buahnya. Malam hari dia berkeliling asrama yang terletak di depan hanggar pesawat untuk mengecek menu makan malam para personelnya.

Untuk memantik gairah kerja, kenaikan pangkat diberikan kepada pegawai yang berprestasi. Itu adalah momen membahagiakan bagi mereka. 

“Orang yang naik pangkat dibawa sendiri sama Nurtanio ke Mabes AU naik pesawat,” kata Darwis mengenang.

Nurtanio hidup bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk bangsanya. Dia tak menunggu, tapi merintis. 

“Bangsa yang merdeka harus memiliki pesawat buatan sendiri untuk keperluan sipil dan militer. Jangan bergantung pada bangsa lain, bangun kekuatan udara sendiri,” kata Nurtanio, setahun setelah Indonesia lepas dari penjajah. 
Nurtanio dan 'Sikumbang' Pesawat anti-Gerilya Hasil Karyanya
pic. google.com
Kini 70 tahun sudah Indonesia merdeka, amanat Nurtanio tetap bergema.

portal info SUMBER

Loading...

No comments