Header Ads

Gambaran Majapahit Dalam Catatan Armada Ming (Catatan Ma Huan) 1413 M

Gambaran Majapahit Dalam Catatan Armada Ming (Catatan Ma Huan) 1413 M



WARNING! Ma-huan menuliskan secara eksplisit mengenai adat istiadat di Majapahit pada saat itu. Karena Penulis (Ma Huan) notabene adalah orang asing, maka tentunya terdapat kesalahan pahaman mengenai simbol-simbol adat istiadat setempat. Mohon bisa dimaklumi, karena di luar hal itu ini adalah catatan yang bagus.


Gambaran Majapahit Dalam Catatan Armada Ming (Catatan Ma Huan) 1413 M
pic. google.com, kompasiana

Ma Huan adalah salah satu sekretaris Laksamana Zheng He (Cheng-Ho) selama melakukan ekspedisi laut ke barat (1405-1433 M). Beliau turut serta dalam ekspedisi ke-4 (1413 M), ke-5 (1416 M), ke-6 (1421 M), dan ke-7 (1430 M; yang terakhir ini adalah mengirim utusan ke Mekah)

Dilahirkan di Provinsi Zhejiang (pesisir timur Cina) sekitar tahun 1380 M dan berasal dari latar belakang sederhana, Ma Huan menjadi muslim di usia muda, dan memiliki kemampuan sastra (Cina) yang baik untuk dapat menjadi pegawai kekaisaran. (Beberapa ahli memuji kemampuan sastra Ma Huan dalam menulis dengan bahasa "classic".) Selain itu,  beliau juga fasih berbicara dan menulis Arab dan Parsi (yang merupakan bahasa "internasional" perdagangan saat itu), sehingga Laksamana Zheng He membawanya dalam ekspedisi ke barat.

Pada usia sekitar 30-an, beliau mulai ikut dalam ekspedisi ke-4 hingga berlanjut hingga ekspedisi terakhir. Selama dalam perjalanan, Ma Huan membuat catatan-catatan detil mengenai negeri-negeri, bangsa-bangsa, dan budaya-budaya yang dilewati oleh rombongan Laksamana Zheng He yang  dibukukan dalam "Ying-yai Sheng-lan" "Pengamatan [mengenai] Pantai-Pantai Samudera". Di dalam buku tersebut, Ma Huan menulis tentang keadaan pulau Jawa (terutama Jawa Timur-Majapahit) yang hampir selalu dikunjungi selama 5 ekspedisi terakhir.



NEGERI CHAO-WA (JAWA)

Negeri Chao-wa sebelumnya disebut She-p’o (dalam literatur sebelumnya, dan ini adalah pelafalan yang salah). Negeri ini memiliki empat kota besar, dimana tidak satu pun diantaranya yang dikelilingi oleh benteng maupun memiliki wilayah perluasan-permukiman di sekeliling kota tersebut (mengacu pada planologi kota-kota Dinasti Ming; kota utama yang bertembok dikelilingi permukiman penduduk jelata, dikelilingi tembok terluar). Kapal-kapal yang datang dari negeri-negeri lain akan singgah pertama kali di sebuah  pelabuhan bernama Tu-pan (Tuban), kemudian menuju ke kota selanjutnya yang bernama Hsin ts’un (Gresik) kemudian menuju kota lain bernama Su-lu-ma-i (Surabaya) lalu [terakhir] adalah kota Man-the-po-i (Majapahit) dimana raja [Jawa] tinggal.

Mengenai tempat kediaman raja, tembok [istana] terbuat dari batu bata, setinggi lebih dari tiga chang (kira-kira 3,5 meter). Istana ini memiliki lebar lebih dari 200 pu (langkah, namun dihitung 2 kali, jadi yg dimaksud adalah 400 langkah) dan terdapat dua [daun?] pintu masuk yang dijaga ketat dan resik. Bangunan-bangunan [istana] dibentuk bertingkat (mungkin maksudnya atap) berjarak tiga atau empat chang satu sama lain. lantai nya adalah lembaran-lembaran kayu dengan tikar yang terbuat dari rotan halus atau tikar jerami-berpola, dimana orang-orang duduk bersila. Dan diatas-nya [ditutupi], mereka menggunakan keping-keping kayu sebagai atap (sirap).

[Sedangkan untuk] rumah tempat rakyat jelata tinggal, mereka menggunakan jerami sebagai atap. [Di dalam bangunan tersebut] setiap keluarga memilki sebuah T’u k’u (ruang penyimpanan) yang terbuat dari batu bata, di dalam tanah. Ruang ini berukuran tinggi [antara] tiga atau empat ch’ih (hasta), dimana mereka menyimpan barang-barang berharga. Dan  di dalam bangunan [beratap jerami] ini mereka hidup, duduk, dan tidur.




PAKAIAN

Mengenai pakaian yang dikenakan oleh raja (Jawa): kepalanya terbuka (tanpa topi) atau menggunakan mahkota dari lembaran emas dan bunga namun tidak menggunakan jubah. Di bagian pinggang, dia menggunakan satu atau dua helai kain sutra bersulam yang diikat dengan tali sutra atau tali rami; [tali] ini dinamakan "ikat pinggang" dimana diselipkan satu atau dua bilah pisau pendek yang dinamai pu-la-t’ou (belati, mungkin yang dimaksud adalah keris). 

Sang Raja berjalan tanpa alas kaki   atau [bepergian dengan] menunggangi gajah atau menggunakan pedati yang ditarik kerbau. 

Mengenai pakaian [yang digunakan] rakyat jelata: kaum laki-laki tidak menggunakan penutup kepala sedangkan wanitanya mengikat rambut mereka menjadi sanggul. Mereka menggunakan  [sejenis] baju untuk [menutupi] bagian atas tubuh-nya (edisi lain menuliskan bahwa baju ini hanya merujuk pada wanita-nya saja; sedangkan laki-lakinya tidak berbaju   ) dan [semacam] selendang di bagian bawahnya (bayangkan pakaian Srimulat   jika sedang memainkan lakon wayang). Kaum laki-laki [selalu] menyelipkan sebilah pu-la-t’ou di pinggang. 

[Sebagai catatan, orang-orang Jawa] dari anak-anak berumur tiga tahun hingga orang tua berumur seratus tahun, mereka semua, memakai pisau ini [di pinggangnya], yang dibuat dari  Pin t’ieh (sejenis besi impor dari Persia, atau maksudnya adalah besi berkualitas bagus), dengan pola yang sangat indah [berupa] garis-garis rumit (mungkin "pamor" keris). 

Gagang (hulu keris) biasanya [dibuat] dari emas atau cula badak atau gading gajah, yang diukir bentuk-bentuk manusia (maksudnya kepala manusia) atau wajah setan (mungkin  raksasa). bentuk [senjata] ini sangatlah halus [menunjukkan] karya seni yang tinggi. 



SATU KEBIASAAN LOKAL DAN HUKUMANNYA 

Rakyat jelata, baik laki-laki maupun wanita, semuanya [sangat] menjaga [kehormatan] kepala mereka. Jika seseorang menyentuh kepala [orang Jawa, secara sembrono], atau terjadi  kesalahfahaman dalam berdagang, atau percekcokan ketika mabuk, mereka akan segera menarik pisau ini [dari pinggang-nya] dan menusuk [/menyerang satu sama lain]. Dan yang kuat-lah yang menang. Jika seseorang terbunuh [dalam perkelahian] dan si-pembunuh lari-bersembunyi selama tiga hari, maka, dia terbebas dari hukuman mati. Namun, apabila dia  tertangkap sesaat kemudian, maka dia akan dibunuh pada saat itu juga. Negeri ini tidak memilki hukum cambuk; apapun kesalahannya, besar atau kecil, [pejabat pemerintah] akan  mengikat tangan si-pelaku [kejahatan] dari belakang dengan [tali] rotan dan menggusurnya sejauh beberapa langkah, lalu mereka (pejabat pemerintah) akan menggunakan pu-la-t’ou  untuk menusuk si-pelaku, satu atau dua kali tusukan di punggung atau di rusuk (dada), yang menyebabkan kematian [si-pelaku]. Menurut kebiasaan setempat, [satu kejahatan harus  langsung dikenai hukuman] tanpa harus menunggu berlalunya hari (dilakukan pada saat itu juga) seseorang harus dihukum mati (jika ada pembunuhan); hal ini sangatlah menakutkan. 

(Ma Huan menyiratkan perlakuan semena-mena penguasa dan kebiasaan tidak manusiawi rakyat pribumi, yaitu hukuman mati dan pembunuhan karena dendam tanpa penyelidikan, dan hukum yang disamaratakan, dan semuanya berujung pada hukuman mati   )



PENDUDUK TIONGHWA DI JAWA 

Uang logam dari beberapa dinasti (Cina) digunakan secara umum di banyak tempat. Tu-pan, disebut Tuban oleh penduduk lokal, yang merupakan nama dari sebuah kabupaten [di kerajaan Jawa]. Di sini, terdapat sekitar seribu keluarga [Tionghwa] atau lebih yang  dipimpin oleh dua orang [Tionghwa sebagai] pemimpin. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Kuang-tung dan Chang chou (Cina) yang pindah, untuk hidup di tempat ini. Ayam,  kambing, ikan, dan sayuran dijual dengan sangat murah di sini. 



GRESIK

Dari Tu-pan, setelah berlayar ke arah timur sekitar setengah hari, anda akan menjumpai Hsin ts’un (kampung baru) yang disebut Ko-erh-hsi (Gresik) oleh penduduk lokal. Awalnya,  [tempat] ini hanyalah timbunan bukit-bukit pasir, [namun] karena orang-orang dari Cina datang dan bermukim di tempat ini [maka tempat ini menjadi ramai, dan] mereka menamai-nya Hsin ts’un (kampung baru). [Sejak pertama kali berdiri] hingga saat ini, pemimpin kampung ini adalah seorang laki-laki dari Kuang tung. 

Terdapat sekitar seribu keluarga atau lebih [di sini]. Banyak orang asing dari berbagai tempat datang ke sini untuk berdagang. Emas, berbagai jenis batu mulia, dan segala macam barang berharga (lit. barang-barang asing), dijual dalam jumlah besar. Penduduk [Kampung Baru] sangatlah kaya.



SURABAYA



Gambaran Majapahit Dalam Catatan Armada Ming (Catatan Ma Huan) 1413 M
pic. google.com

Dari Hsin ts’un (Gresik), setelah berlayar ke selatan sekitar duapuluh li (mil Cina), kapal akan menjumpai Su-lu-ma-i yang disebut Su-erh-pa-ya (Surabaya) oleh penduduk lokal. 

Di Muara (kali Brantas/kali Mas) air yang mengalir terasa segar (tawar). Dari sini, kapal-kapal besar sulit untuk bergerak lebih jauh [ke hulu, sehingga] mereka menggunakan san-pan (sampan) yang dapat melanjutkan hingga lebih dari duapuluh li, hingga mencapai kota [tersebut/Surabaya]. [Di sini] juga terdapat seorang pemimpin kampung yang memimpin lebih dari seribu keluarga orang-asing, yang diantaranya adalah orang-orang Tionghwa. 



MAJAPAHIT

Dari Su-erh-pa-ya, sampan-sampan melaju sejauh tujuhpuluh atau delapanpuluh li menuju suatu dermaga bernama Chang-ku (Cangkir) kemudian mendarat. Dan setelah berjalan ke arah  barat daya selama satu setengah hari, anda akan tiba di Man-che-po-i (Majapahit), tempat dimana raja [Jawa] tinggal. tempat ini memiliki dua sampai tigaratus keluarga orang-asing, dengan tujuh atau delapan pejabat yang membantu raja [untuk memimpin orang-orang asing tersebut]

Terdapat banyak orang kaya di sini. [uang] koin tembaga dari berbagai dinasti (Cina) digunakan [sebagai alat tukar dan] untuk berdagang.

Armada Ming diperkira singgah di Jawa selama masa pemerintahan [Raja] Wikramawardhana (1389-1429 M) dan [Rani] Suhita (1429-1447 M). Tanggal kedatangan pasti dari armada ini  tidak dapat ditentukan, karena baik sumber primer (catatan Dinasti Ming, catatan Ma Huan, catatan Fei Xin, prasasti, dll.) maupun sekunder (cerita rakyat) tidak menyebutkan  atau berlainan satu sama lain.

Prasasti "Sam Po Kong" di Kelenteng Gedong Batu, Semarang, oleh Liem Djing Tjie (3-bahasa: Indonesia, Inggris, Cina) Goa tempat berziarah ini dan Kelenteng bernama Gedong Batu, didirikan untuk memperingati djasa-djasa Sam Poo Tay Djin. Beliau adalah utusan dari Tiongkok pada permulaan zaman Keradjaan Ming (tahun 1368-1643) [yang] berasal dari Yunnan dan wafat pada tahun 1435. Sebagai utusan, beliau mengundjungi berbagai-bagai negeri: antara lain Djawa, Sumatra,  Melaka, Siam, Benggala, Ceylon, [dan] Arabia untuk mengadakan perhubungan perdagangan dan persahabatan jang sedari 1000 tahun telah ada. (Perdjalanan Fa Hsien antara tahun  400.) Untuk menghormati dan mengakui djasa-djasa beliau yang luhur itu, banjak negeri mengirimkan utusan-utusan ke Tiongkok. Beliau mengundjungi Djawa dua kali: di tahun 1406  dan 1416. Di tahun 1416 beliau mendarat di Simonga, jang pada waktu itu masih berada di pantai laut. Penduduk kota Semarang berpendapat bahwa utusan Sam Poo Tay Djin ada[lah]  suatu peristiwa kebangsaan. Maka untuk kehormatannja didirikan[lah] kelenteng ini

Pada masa kedatangan armada Ming, Majapahit tengah mengalami kekacauan selepas meninggalnya [Raja] Hayam Wuruk Sri Rajasanagara (1350-1389 M) dimana Putri Mahkota  Kusumawardhani (menikahi sepupunya sendiri, Pangeran Wikramawardhana) berebut tahta dengan Pangeran Wirabhumi (putra selir). 

Perang saudara, yang disebut Perang Paregreg, diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406 M, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. (Tercatat dalam Ming Shi Lu [Catatan  Kerajaan Ming], terjadi bentrokan dengan raja Jawa, pada tahun ke-4 masa Yong Le [1406 M].) Perang ini dimenangi Wikramawardhana, sementara Wirabhumi ditangkap dan kemudian  dipancung.

Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, [Rani] Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana  dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh [Raja] Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga  tahun 1451.



IKLIM, PERTANIAN, DAN KEKAYAAN ALAM JAWA

[Jawa ber]iklim panas sepanjang tahun (lit. terus menerus), seperti musim panas [di Cina]. Sawah dipanen dua kali dalam setahun, dan bulir padi [yang dihasilkan berukuran]  kecil. Mereka menanam wijen dan kacang hijau [sedangkan] terigu dan gandum hampir tidak ada sama sekali. Tanahnya menghasilkan kayu-soga, intan, cendana, pala, lada, minyak  sereh, besi, dan tempurung kura-kura.

Mengenai burung-burung eksotik [yang ada di tempat ini], terdapat berbagai jenis seperti: kakatua putih se-ukuran ayam! nuri merah dan hijau, nuri lima-warna, dan beo, yang  semuanya dapat meniru suara manusia! juga ayam mutiara, ekek-jungkir, merpati lima-warna, merak, burung aren (mungkin semacam nuri), burung mutiara, dan merpati hijau. 

Mengenai hewan-hewan eksotik [yang ada di tempat ini], terdapat: rusa putih, monyet putih, dan banyak lagi. [Berbagai jenis] babi, kambing, sapi, kuda, ayam, dan bebek juga  ada, namun tidak terdapat keledai ataupun angsa. 

Mengenai buah-buahan [eksotik yang ada di tempat ini], terdapat berbagai jenis seperti: pisang, kelapa, tebu, delima, biji-teratai, mang-chi-shih (manggis), semangka, dan  lang-ch’a (langsap/duku). Mang-chi-shih [berbentuk] seperti [buah] delima, yang di dalam kulitnya terlihat seperti bentuk [buah] jeruk, memiliki empat potong daging buah  [berwarna] putih [di dalamnya] (bayangkan isi buah manggis   padahal isinya bisa 5 atau 6 potong) yang meiliki rasa manis-asam, sangat lezat. lang-ch’a [berbentuk] seperti  [buah] Pi-p’a (loquat/ Eriobotrya japonica) namun agak besar. Di dalamnya terdapat tiga potong daging buah [berwarna] putih (bayangkan isi buah duku, padahal isinya bisa 5 atau  6 potong) dan buah ini juga memilki rasa manis-asam. Batang tebu memilki kulit-luar berukuran besar yang kasar berwarna putih, dan tiap batang memilki panjang satu atau dua  chang. Sebagai tambahan, terdapat [pula] bermacam-macam labu dan sayuran, dan yang tidak ditemui hanyalah persik, plum, dan bawang daun.



KEBIASAAN PRIBUMI DALAM MAKAN DAN MINUM 

Orang-orang pribumi tidak memiliki dipan atau kursi untuk tidur maupun duduk. Dan untuk makan, mereka tidak menggunakan sendok maupun sumpit. 

Laki-laki dan wanita pribumi selalu memakan pinang dan sirih, lalu mencampurnya dengan kapur yang dibuat dari kulit kerang, dan mulut mereka tidak pernah [lepas dari] campuran  ini (sirih-pinang/sepah). Ketika mereka ingin makan nasi, pertama, mereka berkumur dengan air dan membersihkan [sepahan sirih] pinang dari mulut mereka, lalu membasuh kedua  tangan dan duduk melingkar. Mereka memakan sepiring nasi yang dicampur lemak dan kuah, [dan dalam hal memasukan makanan ke mulut] mereka menggunakan tangan untuk menyuap  [makanan] lalu dimasukan ke mulut. 

Jika mereka haus, mereka minum air [putih]. Ketika mereka menerima tamu yang datang [berkunjung], mereka tidak menyuguhkan teh (lit. menghibur, bayangkan kebiasaan di Cina),  namun hanya dengan sirih-pinang.


Sebagai sebuah kerajaan besar, dengan struktur, dan lapisan sosial yang kompleks dan luas, Majapahit pada masa [Raja] Hayam Wuruk Sri Rajasanagara memilki banyak kebiasaan, 

Festival, dan adat yang unik, yang dicatat dengan cukup lengkap oleh Mpu Prapanca dalam Negarakretagama. Diantaranya adalah sejenis pertunjukan/pertandingan yang sering  diadakan di Lapangan Bubat.

Pupuh 86
1. ... di utara kota terbentang lapangan bernama Bubat. Sering dikunjungi Baginda, naik tandu bersudut tiga. Diarak abdi berjalan, membuat kagum tiap orang.
2. Bubat adalah lapangan luas lebar dan rata. Membentang ke timur setengah krosa sampai jalan raya. Dan setengah krosa ke utara bertemu tebing sungai. Dikelilingi bangunan  menteri di dalam kelompok.

Pupuh 87

2. Disitulah Baginda member rakyat santapan mata: pertunjukan perang tanding, perang pukul, desuk mendesuk, perang keris, adu tinju, tarik tambang, menggembirakan sampai tiga empat hari lamanya baru selesai.

3. Seberangkat Baginda, sepi lagi, panggungnya dibongkar. Segala perlombaan bubar; rakyat pulang bergembira. Pada Caitra bulan petang Baginda menjamu para pemenang. Yang pulang menggondol pelbagai hadiah bahan pakaian.



MASYARAKAT JAWA

[Penduduk] negeri ini terdiri dari tiga kelompok masyarakat. Kelompok pertama adalah orang-orang Muslim, mereka berasal dari berbagai (lit. tiap-tiap) kerajaan di barat yang datang ke negeri ini sebagai pedagang (maksudnya orang-orang asing, [mungkin?] dari Afrika, Timur Tengah, dan India: Zanzibar, Arabia, Turki, Persia, India). Dalam hal pakaian dan makanan, mereka [menggunakan barang dan bahan yang] bersih dan baik. Kelompok lainnya adalah orang-orang Tang (maksudnya Tionghwa), yang berasal dari Kuangtung (Guangdong, provinsi), Chang [chou] (Zhangzou, kota di provinsi Fujian), Ch’uan [chou] (Quanzou, kota di provinsi Fujian), dan tempat-tempat lain [di Cina], yang pergi dan menetap di negeri ini. Makanan [yang] mereka [makan] juga bersih dan terpilih. Banyak diantaranya adalah Muslim, [yang taat] melakukan ibadah dan puasa. Kelompok terakhir adalah orang-orang pribumi. Wajah mereka jelek dan aneh rambut terikat [konde], dan tidak beralas-kaki. 

Orang-orang Pribumi menyembah iblis, [dimana] negeri ini termasuk [ke dalam] "negeri-negeri-iblis" yang tertulis dalam kitab-kitab Budha (mungkin [diantaranya] adalah karya  Fa Hsien, yang menulis "agama kotor" yang dianut oleh masyarakat pribumi di Ye-po-ti pada masa Tarumanagara). Makanan yang mereka makan amatlah kotor dan menjijikkan; seperti  ular, semut, dan semua jenis serangga dan cacing, yang dimasak sebentar dengan api, lalu dimakan  : Anjing-anjing yang mereka pelihara di dalam rumah, makan dari tempat yang sama [dimana mereka makan   ] dan [juga] tidur ditempat yang sama [dengan tuan-nya], dan mereka tidak merasa jijik sedikitpun mengenai ini   



PERTANDINGAN TOMBAK BAMBU 

Mereka mengadakan "Pertandingan Tombak Bambu" setiap setahun sekali, yaitu di awal musim semi (maksudnya awal musim hujan :nohope , namun [musim semi di sini datang] pada bulan ke sepuluh [bukan di bulan pertama (imlek)] (karena Jawa adalah wilayah tropik, bukan sub-topik seperti Cina   ). [Pada saat petandingan itu berlangsung,] raja [Jawa] menempatkan permaisuri-nya di dalam sebuah "tandu tinggi" yang berjalan didepan kereta raja. Tandu-tinggi ini memiliki tinggi lebih dari satu chang dengan empat jendela di sekelilingnya (persegi) dan dibawahnya terdapat sumbu berputar, yang [terus berputar] sejalan dengan laju kuda yang menarik kereta [tersebut] ke depan (bayangkan carousel yang ditarik kuda.

Di medan pertemuan, para petanding membentuk [dua] barisan yang saling berhadap-hadapan, [dimana] setiap orang membawa tombak bambu. Tombak bambu ini sangatlah kuat dan tidak memiliki taji/ujung besi; dibuat [hanya] dengan memotong bilah bambu [sehingga meruncing] pada satu ujung-nya saja, sangatlah kuat dan tajam! setiap petanding membawa istri atau budak-wanita-nya ke pertandingan tersebut, dan wanita-wanita tersebut menggenggam sebilah tombak-kayu-kecil sepanjang tiga ch’ih, berdiri diantara barisan [laki-laki yang membawa tombak].

Mengikuti irama genderang yang ditabuh cepat atau lambat sebagai isyarat, dua orang laki-laki [yang berhadap-hadapan] menusukkan tombak mereka [ke arah lawan masing-masing],  dan bergumul [sebanyak] tiga kali, lalu [jika telah selesai tiga pertarungan,] istri dari setiap laki-laki akan mengacungkan tombak kayu-nya, dan mendorong [suami] mereka  [kembali] ke belakang [barisan], sambil berteriak "na-la! na-la!" sehingga kedua laki-laki tersebut terpisah. 

Jika seorang petanding terbunuh, sang raja akan memerintahkan pemenang untuk menyerahkan satu keping uang emas kepada keluarga almarhum, [sedangkan] istri orang-yang-dikalahkan akan diambil oleh sang pemenang.

Begitulah [kebiasaan setempat] yang mempertandingkan pertarungan [hidup dan mati] 



UPACARA SRADHA (dalam bahasa Jawa sekarang disebut NYADRAN) DAN PERSEMBAHAN PARA RAJA

Tercatat dalam Nagarakretagama

Pupuh 63
1. Tersebut paginya Sri Naranata dihadapan para menteri semua. Dimuka para Arya, lalu Pepatih, duduk teratur di Manguntur. Patih Amangkubumi Gadjah Mada tampil ke muka sambil berkata: “Baginda akan melakukan kewajiban yang tak boleh diabaikan”.

2. Atas perintah Sang Rani Sri Tribuwana Wijayatunggadewi, supaya pesta Serada Sri Rajapatni dilangsungkan Sri Baginda. Di istana pada tahun saka bersirah empat (1284) bulan  Badrapada. Semua pembesar dan wredda menteri diharap memberi sumbangan.”

Pupuh 64
1. Ketika saatnya tiba, tempat telah teratur sangat rapi. Balai Witana terhias indah, dihadapan rumah‐rumahan. Satu diantaranya berkaki batu karang, bertiang merah. Indah  dipandang, semua menghadap kearah tahta Baginda.

Pupuh 65
4. Raja wengker mempersembahkan sajian berupa rumah dengan taman bertingkat. Disertai penyebaran harta di lantai balai besar berhambur‐hamburan. Elok persembahan raja Tumapel  berupa perempuan cantik manis dipertunjukkan selama upacara untuk menharu‐rindukan hati.

Pupuh 67
1. Pesta serada yang diselenggarakan serba meriah dan khidmat. Pasti membuat gembira jiwa Sri Rajapatni yang sudah mangkat. Semoga beliau melimpahkan berkat kepada Baginda  raja. Sehingga jaya terhadap musuh selama ada bulan dan surya.




PERNIKAHAN

Meminang/melamar adalah bahasa dan upacara yang umum ditemukan di hampir semua suku bangsa di Indonesia, terutama yang berada di wilayah barat (hingga Indocina?). Jika kita  cermati, kata tersebut adalah turunan dari pinang dan lem(b)ar, yang merujuk pada kebiasaan sirih-pinang dalam menyambut tamu. jadi, dapat kita simpulkan, bahwa jenis pernikahan yang umum di budaya kita adalah pernikahan antar wilayah yang relatif berjauhan (merujuk pada bertamu) dengan indikasi kuat pada perjodohan yang diatur oleh orang tua pengantin. Kawin sendiri berakar pada ka-win, ka-we, ke-wanita, seperti pada kata ke Bandung, ke kantor, ke dapur, ke mertua, yaitu menuju-sesuatu. Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa kata ini memiliki makna awal "perjalanan menuju wanita" dalam pengertian adat-legal atau tidak   suami mungkin serapan dari swami, sedangkan istri adalah kata serapan yang utuh (India?). 

Namun, kata asli Nusantara dapat dilihat dari SALAKI (suami, Sunda) yang memilki arti  laki-laki yang bersatu (se-laki; bandingkan, sa-imah [se-rumah] sa-lembur [se-kampung] dst.). sedangkan untuk istri, ada kata PAMAJIKAN, yang mungkin berasal dari pa-macek-an  (tempat-bersetubuh   bandingkan dengan pa-moro-an [tempat per-buru-an] pamancingan [tempat pe-mancing-an] dst. )

Mertua mungkin berasal dari me-tua, yang berarti menganggap [orang] tua, sama seperti MITOHA yang mungkin berasal dari mi-toha, menganggap [seperti] tuan (karena hidup di dalam kekuasaannya?); bandingkan dengan mikaresep, mihayang, miboga (semua adalah bentuk kepemilikan, atau pe-mirip-an). Tohaan adalah tuan dalam pengertian modern dimana kata Tuhan mungkin berasal.



UPACARA PERNIKAHAN DAN GAMELAN DI MAJAPAHIT

Mengenai upacara pernikahan, diawali dari [pengantin] laki-laki yang mendatangi rumah keluarga [pengantin] wanita, lalu mereka menikah. Tiga hari kemudian, [pengantin] laki-laki mengantar istrinya [kembali ke rumah orang tua laki-laki], dimana keluarga [pengantin] laki-laki [akan] memukul genderang dan gong-tembaga (mungkin maksudnya gamelan?),  meniup terompet dari batok kelapa (terompet reog?), menabuh genderang yang terbuat dari tabung-tabung bambu (gambang?), dan menyalakan petasan. Beberapa orang laki-laki, dengan pisau-pendek dan perisai bundar, [akan] mengiringi [kedua pengantin] di depan dan di belakang [rombongan]. 

Rambut [pengantin] wanita terurai (gadis sunsilk?   ), [dengan] tubuh yang [agak] terbuka (bayangkan Mbak Nunung kalo lagi manggung Srimulat   akan terlihat berbeda dengan  versi perempuan semisal Pai Su Cien   ) dan tidak beralas kaki. [Pengantin wanita] mengenakan selendang bersulam sutra, di lehernya ia kenakan perhiasan berupa bulatan emas  yang diuntaikan [menjadi kalung], dan di lengan-nya ia kenakan gelang dengan hiasan emas, perak, dan berbagai batu permata (lit. barang berharga).

Keluarga, sahabat, dan tetangga [sang pengantin akan] membuat sebuah perahu (nampan-hantaran?   ) yang dihias berbagai macam, seperti: pinang, sirih, dan bunga yang dijalin  dengan tali (rampe?   ), dan [mereka akan] membuat sebuah kenduri untuk menyambut pasangan pengantin, sesuai dengan upacara selamatan untuk acara bahagia [ini]. Ketika  [rombongan pasangan pengantin] datang ke rumah [orang-tua pengantin] laki-laki, [dengan serta merta] mereka menabuh semua gong, genderang, minum anggur, dan membunyikan musik. 

Setelah beberapa hari [kemudian, baru] mereka [selesai berpesta, lalu] pergi.



KEMATIAN

Mengenai upacara kematian yang umum mereka lakukan adalah, jika mereka memilki seorang ayah atau ibu yang [telah renta dan] terlihat sedang menunggu kematian, anak-anak laki-laki dan perempuan akan menanyai ayah atau ibu [mereka itu] tentang apakah [yang diinginkan] setelah meninggal: [apakah ingin] dimakan anjing, dibakar api, atau dihanyutkan air [sungai]. [Dalam hal ini] ayah dan ibu mereka menyebutkan keinginan yang menunjukan kejadian nyata [yang kemudian harus dilakukan oleh anak dan keluarga mereka]  

Maka, setelah meninggal, anak-anak laki-laki dan perempuan [almarhum akan] melaksanakan keinginan orang tua mereka, atas wasiat yang sebelumnya telah diucapkan. Jika almarhum 
berwasiat untuk dimakan anjing, maka mereka akan membawa jasad [almarhum] ke pinggir pantai atau di tempat terbuka, dimana sekelompok anjing [biasa] berkumpul. Jika daging-jasad dimangsa habis, tanpa sisa, ini dianggap bagus. Namun, jika tidak dimangsa habis, maka anak-anak laki-laki dan perempuan [almarhum] akan menangis dan meraung kesedihan. 

Lalu, mereka [akan] mengumpulkan tulang-belulang yang tersisa, me-larung-nya di laut (lit. air), dan pergi. Satu tambahan; jika orang-orang kaya, pejabat, atau orang-orang terpandang akan meninggal, [mereka akan menyuruh] selir atau gundik yang paling mereka sayangi untuk bersumpah  pada tuan-nya, [dengan] berkata “kami akan mati bersama tuan.” Jika [kemudian] sang tuan meninggal, pada hari penguburan, mereka akan membuat menara-kayu dimana setumpuk kayu-bakar ditempatkan di bawah-nya. Lalu, mereka membakar tumpukan ini dan membakar peti-mati [almarhum]. [Sementara itu] dua atau tiga selir dan gundik yang telah bersumpah [untuk sehidup-semati dengan tuan mereka, akan] menunggu hingga kobaran api membesar, [mereka] mengenakan hiasan (lit. rumput?) dan bunga di kepala mereka, tubuh mereka ditutupi selendang bercorak lima warna, lalu mereka menaiki menara [tersebut], menari dan menangisi kematian tuan mereka, untuk beberapa saat, [kemudian] terjun ke dalam [kobaran] api, dan hangus dilalap api bersama dengan jasad tuan mereka, sesuai dengan tata pengorbanan manusia untuk upacara kematian  



AKSARA

Diperkirakan, tulisan dikenal di Nusantara dari para pedagang India selatan; Chola dan Palawa. Dalam Carita Parahiyangan, Pustaka Wangsakerta, disebutkan bahwa pendiri  Salakanagara (kerajaan paling tua) adalah seorang utusan dari Palawa yang menikahi putri Aki Tirem, penghulu di Pandeglang.

Hampir semua (jika tidak malah semuanya) abjad tradisional yang ada di Indonesia adalah turunan dari huruf-huruf Palawa. Media tulis yang umum adalah berbagai jenis daun  palem: kelapa, nipah (kirai), nira (kawung), dan lontar (siwalan), namun yang paling sering digunakan adalah daun lontar; mungkin karena paling halus. Tulisan di-gurat memakai pisau khusus (pangot/pengropak/pengutik) kemudian dilumuri jelaga atau tumbukan kemiri yang telah dibakar hingga agak hitam, sehingga tulisan terlihat/muncul sebagai guratan hitam di atas daun.

Saat ini, lontar-lontar (meskipun tidak semuanya menggunakan bahan daun lontar) bersejarah disimpan di berbagai tempat di Indonesia maupun luar negeri. Perpustakaan Nasional,  Keraton Solo, dan Gedong Kirtya di Bali adalah beberapa tempat dengan koleksi lontar paling banyak di Indonesia. Sedangkan perpustakaan KITLV di Leiden, Belanda adalah tempat  di luar negeri yang juga memilki koleksi cukup banyak.

Mpu Prapanca dalam Nagarakretagama menuliskan aktivitasnya selama menyusun lontar tersebut:


Pupuh XCIV

2. Tahun Saka gunung gajah budi dan janma (1287) bulan aswina hari purnama, Siaplah kaka.win pujaan tentang perjalanan jaya keliling negara, Segenap desa tersusun dalam  rangkaian, pantas disebut desawarnana, Dengan maksud, agar Baginda ingat jika membaca hikmat kalimat.

3. Sia-sia lama bertekun menggubah kaka.win menyurat di atas daun lontar, Yang pertama “Tahun Saka”, yang kedua “Lambang” kemudian “Parwasagara”, Berikut yang keempat  “Bismacarana”, akhirnya cerita“Sugataparwa”, Lambang dan Tahun Saka masih akan diteruskan, sebab memang belum siap.

4. Meskipun tidak semahir para pujangga di dalam menggubah kaka.win, Terdorong cinta bakti kepada Baginda, ikut membuat puja sastra, Berupa karya kaka.win, sederhana tentang  rangkaian sejarah desa, Apa boleh buat harus berkorban rasa, pasti akan ditertawakan.


Pupuh XCVI

1. Pra panca itu pra lima buah, Cirinya: cakapnya lucu, Pipinya sembab, matanya ngeliyap, Gelaknya terbahak-bahak.

2. Terlalu kurang ajar, tidak pantas ditiru, Bodoh, tak menurut ajaran tutur, Carilah pimpinan yang baik dalam tatwa, Pantasnya ia dipukul berulang kali.


T U L I S A N

Mereka memilki [sejenis] huruf untuk menulis yang memilki kesamaan dengan huruf-huruf So-li (Chola, negeri di India Selatan. Dapat juga diartikan sebagai Palawa, karena menempati wilayah dan budaya yg mirip). Mereka tidak memiliki kertas ataupun kalam [untuk menulis, tapi] menggunakan lembaran daun chiao-chang (kajang=kelapa; melayu. Meskipun daun kelapa maupun nipah/kirai juga digunakan sebagai media menulis, namun, umumnya, yang digunakan adalah daun lontar/siwalan yang memiliki tekstur dan serat yang lebih halus) dimana mereka mengerat (menggariskan) huruf-huruf di atas-nya dengan sebilah pisau. Mereka juga memilki tata-bahasa. Bahasa [yang digunakan di] negeri ini [terasa] sangat indah dan lembut. 



UKURAN DAN SATUAN

Mengenai ukuran berat (baca: massa) [yang digunakan]; satu chin [Jawa] adalah (baca: sebanding dengan) duabelas liang [Jawa], satu liang [Jawa] adalah enambelas ch’ien [Jawa],  satu ch’ien [Jawa] adalah empat ku-pang (gobang/benggol). [Dimana] satu ku-pang sebanding dengan dua fen [tambah] satu li [tambah] delapan hao [tambah] tujuh ssu [tambah] lima hu, dari ukuran [batu timbangan] resmi yang digunakan di Cina (lit. yang kita gunakan). [Sedangkan] satu ch’ien [Jawa] sebanding dengan delapan fen [ditambah] tujuh li [ditambah] lima hao, dari ukuran resmi yang digunakan di Cina. Satu liang [Jawa] sebanding dengan satu liang [ditambah] empat ch’ien, dari ukuran resmi yang digunakan di Cina. 

[Dan] satu chin [Jawa] sebanding dengan duapuluhdelapan liang, dari ukuran resmi yang digunakan di Cina. (ket; bayangkan pengukuran dengan dacin/batang timbangan, dengan  berbagai jenis batu timbangan. Beban ditempatkan di satu sisi dan batu timbangan di sisi lainnya. Jika jenis paling besar sudah mentok [jika ditambah satu lagi malah  menyimpang] maka ditambahkan jenis batu timbangan yang lebih kecil hingga mentok [jika ditambah satu lagi malah menyimpang], maka ditambahkan lagi dengan yang lebih kecil, dan  seterusnya, hingga batang dacin benar-benar lurus/seimbang. tambahan; terdapat satuan KATI yang umum digunakan pada masa Hindia Belanda, yang sebanding dengan 16 TAHIL/tael)

Mengenai ukuran isi/volume [yang digunakan]; mereka menggunakan takaran bambu untuk membuat sheng (lit. mereka memotong sebilah bambu untuk membuat sebuah sheng, mungkin yg dimaksud adalah takaran, seperti takaran beras yang ada di pasar-pasar, dari bambu, yang mungkin juga digunakan untuk menakar cairan; misalnya minyak). Ini adalah satu ku-la  (kulak), yang sebanding dengan satu sheng [ditambah] delapan ko, dari ukuran resmi yang digunakan di Cina. Sedangkan [satuan] tou (ukuran volume yg lebih besar) Jawa, satu tou adalah satu nai-li (mungkin dari tilik?nilik?nilih, suatu satuan volume kuno, dalam pengertian "mengetahui" [isi]) yang sebanding dengan satu tou [ditambah] empat sheng [ditambah] empat ko, dari ukuran resmi yang digunakan di Cina.



PERAYAAN TERANG BULAN

Pada malam ke limabelas atau enambelas dari setiap bulan, ketika [cahaya] bulan [bersinar] penuh, cerah dan terang, lebih dari duapuluh, atau sering kali lebih dari tigapuluh orang, wanita pribumi berkumpul, membentuk suatu perayaan [terang bulan]. Seorang wanita bertindak sebagai pimpinan sedangkan yang lain saling memegang pundak, membentuk barisan, lalu berkeliling di bawah sinar bulan. Sang pemimpin menyanyikan lagu khusus yang [kemudian] dijawab secara bersama-sama oleh yang lain. Ketika rombongan ini melewati beranda rumah keluarga atau rumah orang kaya atau kediaman pejabat, mereka [akan] diberi hadiah keping-keping tembaga atau hadiah lain. Ini dinamakan "nyanyian terang bulan."



HIBURAN PERTUNJUKAN WAYANG

Mereka memiliki sekelompok laki-laki yang membuat berbagai lukisan pada [lembaran] kertas (mungkin juga kain atau kulit), seperti: manusia, burung, hewan buas, elang, atau serangga. Lukisan-lukisan ini mirip dengan gambar-gulung [di negeri Cina]. Sebagai penyokong [agar gambar terbuka, tidak menggulung], mereka menggunakan dua bilah batang kayu, setinggi tiga ch’ih (dibuat berdiri), [satu batang ditempatkan] sejajar dengan [garis-batas] kertas di [kedua] ujung [kiri dan kanan]. (Mungkin inilah gambaran Wayang Beber.)

Dengan duduk bersila di atas tanah, laki-laki tersebut [lalu] mengambil lukisan-lukisan [tadi] dan menancapkannya di tanah. Setiap kali dia membuka dan memperlihatkan satu bagian lukisan, dia menyodorkannya ke depan para penonton, dan berbicara nyaring. Dia menjelaskan [cerita yang ada di dalam] lukisan tersebut, sedangkan orang-orang duduk  berkerumun mengelilinginya. Sesekali mereka tertawa, sesekali menangis, persis seperti keadaan seorang pembicara yang membacakan roman-roman populer [di negeri Cina].



EKSPOR-IMPOR

Orang-orang pribumi sangat menyukai porselen-biru dari negeri Cina, begitu juga dengan wewangian (musk/misik), kain halus (lit. rami-sutra) bergaris emas, dan manik-manik.  Mereka membelinya dengan keping-keping tembaga. 

Raja Jawa terus mengirim utusan-utusan yang memuat barang-barang hasil negeri mereka, untuk dikirim sebagai hadiah ke negeri Cina.




Sumber:

1. Arsip.Kaskus.

2. Ying-yai Sheng-lan (The Overall Survey of the Ocean's Shores), Ma Huan, annotated by Feng Chenjun, annotated in English translation by J.V.G. Mills, the Hakluyt Society,  Cambridge, 1970.

3. Dictionary of Ming biography, 1368-1644, Volume 2, Association for Asian Studies. Ming Biographical History Project Committee, Luther Carrington Goodrich, Zhaoying Fang,  Columbia University Press, 1976.

4. When Asia Was the World: Traveling Merchants, Scholars, Warriors, and Monks Who Created the "Riches of the "East", Stewart Gordon, Da Capo Press, 2009.

5. Encyclopedia of Islam, Volume 1-5, Sir H. A. R. Gibb editor, Leiden, 1983. 
Loading...

No comments