Header Ads

Putra Buton Pertama Yang Menjadi Imam Masjid Kesultanan Buton

Pada masa Kesultanan Buton (1610), Sangia Wambulu diangkat menjadi imam masjid agung keraton Buton. Dia merupakan putra Buton asli pertama yang menjabat imam, sebelumnya diisi turunan Syaikh Abdul Wahid yang merupakan imam pertama masjid agung Keraton Buton dari Madinah.

Syaikh Abdul Wahid sendiri merupakan pembawa agama Islam pertama di Buton, sebelumnya dari Johor karena ayahnya merupakan Sultan Johor. Setelah dianggap matang pemahaman agamanya dia diutus ayahnya untuk menyebarkan agama Islam di Buton, tapi sebelum itu singgah terlebih dahulu di Adonara.

Sepeninggalnya, imam masjid agung keraton kemudian dijabat anaknya yang digelar Imam Malanga, menurun lagi ke anaknya yang dijuluki Sangia Waero-ero. Selanjutnya berpindah ke turunan Buton, yakni Sangia Wambulu yang dipandang mampu karena pemahaman agama Islamnya yang sangat mendalam.

Entah berapa lama Sangia Wambulu menjadi imam, namun di masanya dia juga mempunyai banyak peranan penting dalam perkembangan agama Islam di Buton dan membantu Kesultanan Buton memenangkan berbagai pertempuran dengan kerajaan dan kesultanan di sekitarnya berkat ilmu kesaktiannya.

Ada satu peristiwa yang membuatnya diketahui sebagai Waliyullah adalah ketika menghadang kapal utusan Sultan Ternate di Selat Baruta. Dimana, pada masa Sultan Baabullah ada kerjasama dengan Kesultanan Buton. Saat itu Kesultanan Ternate menganggap peradaban Islam mereka lebih maju, maka diwajibkan Kesultanan Buton mengutus orangnya untuk setiap Jumat Salat di Ternate.

Kesultanan Buton menyanggupi hal itu dengan mengutus dua utusannya yang dikenal sakti pula, yakni Mojina Kalau dan H Pada. Setiap Jumat keduanya tidak pernah alpa melaksanakan Salat Jumat di Ternate. Memasuki waktu azan, keduanya dari Buton mendayung ke Ternate dalam waktu sekejap saja menggunakan perahu Wasilomata. Usai Salat Jumat, keduanya pun balik lagi ke Buton, demikian seterusnya setiap hari Jumat.

Namun, setelah Sangia Wambulu menjabat imam masjid agung keraton, dia pun melarang Mojina Kalau dan H Pada ke Ternate lagi, cukup Salat Jumat saja di masjid agung keraton. Kepada keduanya dan Sultan Buton saat itu, kalau terjadi apa-apa dia yang akan bertanggungjawab.

Apa yang dikhawatirkan terjadi, Kesultanan Ternate gerah melihat utusan Kesultanan Buton tidak pernah lagi melaksanakan Salat Jumat di Ternate, apakah ilmu Islam Buton sudah hebat atau bagaimana. Untuk menelusuri hal itu, Sultan Baabullah pun mengutus orang-orangnya untuk menyelidikinya ke Buton. Dengan sebuah kapal, mereka pun dilepas menuju Buton.

Dengan ilmu batinnya, Sangia Wambulu mengetahui kedatangan utusan Sultan Ternate tersebut. Dia meminta izin kepada Sultan Buton untuk menghadangnya sendiri di pintu masuk Kesultanan Buton, yakni di selat Baruta. Dia pun menyamar sebagai seorang nelayan menggunakan sampan sedang asyik memancing.

Melihat kedatangan kapal tersebut, Sangia Wambulu pura-pura mendekatinya sembari bertanya hendak kemana tujuannya. Untuk menggali informasi awal, Sangia Wambulu dipersilahkan naik ke kapal. Alangkah terkejutnya utusan Ternate ketika Sangia Wambulu menginjakan kakinya ke haluan kapal, buritan kapal terangkat. Melihat itu, dia pun disuruh duduk di tengah kapal agar bisa seimbang.

Mengetahui tujuan kedatangan utusan Sultan Ternate tersebut, Sangia Wambulu melarang mereka untuk tidak meneruskan pelayarannya masuk ke Keraton Buton, karena sekarang masyarakat Buton sudah paham akan hakikat agama Islam. Demikian pula halnya dengan dirinya sebagai masyarakat biasa dan orang di luar keraton. Demikian percakapan awal Sangia Wambulu dengan para utusan Sultan Ternate hingga memasuki waktu Salat Zuhur.

Untuk menguji pengakuan seseorang yang dianggap masyarakat kecil itu, utusan Sultan Ternate menyuruh Sangia Wambulu melaksanakan Salat Zuhur. Namun, Sangia Wambulu merendah dan mempersilahkan utusan Sultan Ternate tersebut Salat lebih dulu sebagai penghormatannya selaku orang kecil atau masyarakat biasa diluar Keraton Buton.

Setelah niat dan melaksanakan Takbiratil Ihram, sebagian badan utusan Sultan Ternate tersebut menghilang, yang tersisa pinggang hingga kepala sampai akhir Salatnya. Melihat kejadian yang tidak biasa itu, Sangia Wambulu cukup manggut-manggut dan mengakui ilmu makrifat sang utusan.

Giliran Sangia Wambulu berdiri Salat. Setelah niat dan Takbiratul Ihram, tiba-tiba seluruh badannya bercahaya menyilaukan. Setiap gerakan Salat dia pelan-pelan melebur dari kepala hingga kebawah seperti lilin. Wujudnya pun berubah dari orang tua, pemuda, anak-anak, bayi, dan diakhir sujudnya menjadi seperti setitik air mani yang membentuk huruf alif berdiri. Usai salam berubah kembali seperti semula. Semua itu menggambarkan proses kejadian manusia diciptakan Allah SWT.

Melihat kejadian itu, utusan Sultan Ternate langsung menghormat membungkuk dan mengakui kedalamam pemahaman agama Islam Buton. Sehingga berkesimpulan, pantas utusan Kesultanan Buton tidak datang lagi Salat Jumat di Ternate, ternyata sudah sampai sejauh itu ilmunya. Orang biasa saja diluar wilayah Keraton sudah mampu seperti itu, apalagi orang dalam Keraton Buton sendiri.

Akhirnya, utusan Sultan Ternate tersebut dan rekan-rekannya sepakat bertolak belakang membawa kapalnya kembali ke Ternate untuk melaporkan perkembangan pemahaman Islam masyarakat Buton ke Sultan Baabullah. Sejak itulah Keislaman Buton mendapat pengakuan dari Kesultanan Ternate dan tidak mempertanyakan lagi kenapa tidak Salat Jumat di Ternate. (***)

Repost via https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=621563654890599&id=100011109093243


Putra Buton Pertama Yang Menjadi Imam Masjid Kesultanan Buton


Loading...

No comments