Penyerbuan Mataram atas Giri Kedaton (Surya Kembar Ing Bumi Mataram)
Bumi resah, bumi ‘kan terus bersimbah darah
Di jalanan dan pematang-pematang sawah
Jiwa memar dan kepedihan merekah
Siapa lagi yang akan mereka bunuh Saudara?
Dapatkah senjata dan pedang, teror dan perang
Memikul beban dan hiruk pikuk bumi yang kerontang?
(Fragmen akhir Syech Siti Jenar Menjelang Hukuman Mati, oleh Abdul Hadi W.M)
Semenjaknjak pada awal pembentukan Mataram oleh tiga serangkai Ki Panjawi keturunan Bhre Kertabhumi, Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani, Mataram adalah sejarah intrik kekuasaan. Pendirian Mataram pun awalnya adalah dengan taktik dan konspirasi yang menewaskan Aryo Penangsang.
Untuk menunjukkan kakuatan, salah satunya adalah membangun dunia mistis. Dunia mistis mereka sebagai keturunan dua dunia: dunia Islam dengan gelar Sayidin Panatagama dan silsilah keturunan Nabi Muhammad dan Nabi Adam, dan dunia Hindu-Buddha dengan tradisi kuat terkait misalnya Ratu Kidul. Hubungan mistis pencitraan yang dibangun untuk memberikan citra bahwa keluarga dinasti Mataram adalah keturunan Majapahit dan keturunan Dewa-dewi.
Salah satu representasi yang tersisa dan dibangun oleh raja Mataram adalah Nyai Roro Kidul penguasa Segoro Kidul (Samudera Hindia) yang kuat dan diyakini keberadaannya oleh masyarakat seantero Jawa. Bahkan hingga kini. Untuk merebut legitimasi itu, disebarkanlah kesan bahwa Raja/Sultan Jogjakarta dan Mataram adalah ‘suami' Ratu Kidul. Keyakinan yang sampai saat ini diyakini oleh sebagian besar masyarakat. Dengan merebut ‘kuasa' sebagai ‘suami', maka seacara mistis semua kekuatan mistis dikuasai oleh raja Mataram.
Salah satu hal yang tak boleh dilanggar oleh raja atau Sultan Mataram adalah karena kesesuaian antara mistis Hindu-Buddha dan keyakinan Islam adalah bahwa raja Mataram dan kerajaan penerusnya termasuk kesultanan Jogjakarta pantang naik haji dan pantang mengunjungi India. Sikap abstain ini untuk menjaga netralitas dan rivalitas mistis sufi ala Islam dan ajaran mistis Hindu-Buddha yang melekat di sana. Pelanggaran atas hal ini akan menjadi malapetaka bagi kerajaan Mataram.
Dalam pandangan tradisional masyarakat Jawa, raja digambarkan sebagai wenang misesa ing sanagari yang berarti memiliki kekuasaan tertinggi di seluruh negeri. Tidak saja ia memiliki kekuasaan terhadap negara dan harta benda, tetapi juga terhadap rakyat (para kawula) dengan segala kehidupan pribadinya. Di samping itu kekuasaan digambarkan dalam ungkapan mbaudendha nyakrawati, yaitu berwenang menghukum dan berkuasa memerintah dunia.
Bahkan lebih dari itu, bahwa raja berkuasa segala-galanya, yaitu memerintah, mangatur, menghukum, menguasai daerah-daerah lain, menguasai militer, dan termasuk mengatur masalah agama seperti yang terungkap dalam Senopati ingalaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama. Kekuasaan tersentral pada diri raja, tidak terbagi-bagi dan merupakan kebulatan yang tunggal, tiada yang mampu menandingi. Ungkapan raja yang tak tertandingi berbunyi endi ono surya kembar yang berarti tidak dibenarkan ada kekuasaan lain yang sederajat dengan dirinya.
Ungkapan atau pandangan surya kembar (matahari kembar) ini pulalah yang menjadi pijakan legitimasi penguasa Mataram mencaplok Giri Kedaton. Ya, pandangan dua ‘raja Jawa’ itu menyungkupinya seakan-akan sudah mewakili ‘dunia batin’ orang Jawa kala itu. Namun jika mau surut ke belakang, ‘sinkretisasi Islam’ itu sebenarnya sudah mengental sejak Sultan Agung (1613-1646). Raja ketiga Mataram sebelum terpecah oleh Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757) itu dikenal sangat cerdik.
Kecerdikannya sebagai negarawan, Sultan Agung memanfaatkan agama sebagai sarana berpolitik. Islam dipakainya untuk menerapkan politik devide et impera. Politik pecah-belah sebelum menginvasi kerajaan Islam dari dalam bagi perluasan teritorial Mataram.
Panembahan Senopati (1584-1601), pendiri Mataram yang selalu gagal memekarkan wilayah kekuasaannya dijadikan tauladan. Kerajaan yang belum kental Islamnya itu tidak kunjung berhasil menaklukkan daerah pesisir. Sandungannya, kerajaan Islam kecil-kecil itu menjadi sangat kuat di bawah kendali Walisongo. Terutama Giri Kedaton.
Ketika kuasa raja berada di tangannya, yang mula-mula dilakukan Sultan Agung adalah ‘mengIslamkan diri’. Mengubah perhitungan tahun dari rembulan ke matahari sehingga Tahun Hijriyah dan Tahun Jawa menjadi sama. Dia mengajukan permohonan ke Ottoman (kekaisaran Islam) untuk menggunakan gelar sultan. Setelah itu Sultan Agung merangkul para wali sebagai justifikasi Mataram memang beragama Islam.
Dari sekian banyak inovasi yang dilakukan Sultan Agung itu, perubahan perhitungan tahun merupakan salah satu yang membuat kegoncangan. Berbagai upacara jadi berubah waktu dan penyebutan. Penentuan satu Suro yang bersendi almanak Aboge (Alip Rebo Wage) berselisih waktu. Saat itulah ‘Sekatenan’ yang semula sebagai ‘paweling asaling dumadi’ akhirnya dimaknai sebagai upacara memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Ketika kerajaan Mataram benar-benar diakui sebagai kerajaan beragama Islam, pencaplokan wilayah pun mulai tidak terhindarkan. Menurut catatan De Han dan De Graff, kerajaan kecil di pesisir satu demi satu diklaim sebagai ‘tanah milik’ Mataram. Tindakan ini mendisharmonisasi kerajaan Islam di pesisir.
Saat pertemuan Bupati di Rembang, Jawa Tengah, Sunan Giri Prapen yang lama mendengar tindakan itu merasa perlu ‘mengingatkan’. Dengan halus Sang Giri Nata ‘menegur’ secara halus. Sunan Giri Prapen atau Sunan Giri V atau juga Kyai kawis Guwo ini menyindir cucu Panembahan Senopati itu.
Sindiran yang tertuang dalam ‘Kitab Al Asror’ itu ternyata tidak membuat Sultan Agung sadar, tapi malah sebaliknya. Sultan Agung gelo, loro atine. Raja Mataram itu menyimpan dendam kesumat. Terbukti, setelah sekutu kerajaan Surabaya di Pontianak ditaklukkan dan diteruskan penaklukan Surabaya tahun 1625, Pangeran Jayenglengkara, adipati Surabaya menyatakan takluk pada Sultan Agung di Mataram.
Ketika Pangeran Jayalengkara mangkat, Pangeran Pekik, anaknya di panggil Sultan Agung untuk menghadap di Mataram. Di Mataram Pangeran Pekik tidak di pidana. Sang Sultan ‘berbaik hati’, Pangeran Pekik mendapat kamulyan berupa pengangkatan dirinya meneruskan jabatan ayahnya dan diperjodohan dengan Ratu Pandansari, adik perempuan Sultan Agung. Ini adalah perkawinan politik untuk mengikat Jawa Timur agar setia pada Mataram. Inilah perkawinan politik gaya Sultan Agung.
Lingkaran Mataram sendiri sebenarnya kurang suka dengan pernikahan tersebut. Walau bagaimanapun Pekik adalah putra seorang taklukkan. Apalagi penaklukkan Surabaya membutuhkan waktu sangat lama, 26 tahun, dengan korban luar biasa banyak. Tentu dendam itu masih membara. Mengapa Pekik? Bukankah putra adipati Surabaya tersebut belum teruji kesetiannya kepada Mataram? Tetapi siapa yang berani melawan kehendak sultan?
Kedok ‘kebaikan’ hati sang raja ini terkuak dikemudian hari. Bemula dari Pandansari disuruh menghadap Sultan Agung. Sang sultan bercerita tentang kegundahannya, karena Giri tak kunjung mau memberi upeti dan ‘berserah diri’ ke Mataram. Sultan Agung ingin Giri diserang dan ditaklukkan. Dan yang melakukan itu adalah Pangeran Pekik tidak ada yang lain lagi, suami Pandansari.
Titah tersebut bukan tanpa alasan, telah berulang kali sultan meminta pertimbangan dewan kerajaan dan para senopati. Tetapi tidak ada yang menyatakan kesanggupan untuk menaklukkan Giri. Semua gentar dengan perbawa Giri Kedaton. Apalagi kini Giri dipimpin oleh Sunan Giri V alias Kyai Kawis Guwa, seorang yang linuwih dalam ilmu dunia maupun agama.
Bagi Sultan Agung keputusan menyerang Giri adalah keputusan yang sungguh sulit. Sebagai muslim ia sangat menghormati Giri. Namun manakala teringat ‘teguran’ halus dari Giri Prapen saat pertemuan para bupati di Rembang kembali melambungkan niatnya tersebut. Baginya, Giri adalah klilip yang mengganggu pandangan.
Beberap kali ia menunda menyerang Giri karena nyalinya belum utuh, ciut. Ia tahu persis kewibawaan Giri di mata rakyat. Giri Kedaton dibawah kekuasaan Sunan Giri V adalah matahari yang terang benderang di bang wetan. Banyak raja di belahan timur Nusantara menghaturkan hormat dan tanda takluk kepada Giri. Tidak jarang mereka (raja-raja itu) meminta pertikel (pertimbangan) kepada Giri jika menghadapi masalah kenegaraan.
Lagi-lagi, baginya tidak ada istilah matahari kembar di Jawa dan jika ini dibiarkan tertib Mataram akan akan hilang. Maka, klilip tersebut harus di hilangkan dan yang bisa hanya Pekik, adik ipar yang sekaligus adipati Surabaya.
Sebenarnya, titah sultan tersebut sangat berat bagi Pekik, apalagi Sunan Giri adalah sinar bagi Nusantara. Bagaimana mungkin keturunan Sunan Ampel seperti dirinya harus memadamkan matahari Islam di Giri? Bagi dirinya lebih baik mati dari pada harus menggempur Giri. Pandansari tahu bahwa suaminya bimbang. Tetapi ia juga tahu bagaimana caranya agar suaminya luluh.
Pandansari adalah benteng mataram. Bagi orang seperti dia perintah Sultan adalah hukum, dunia dan akhirat. Malamnya Pandansari membisiki suaminya, bahwa ‘masih ada satu klilip Mataram’ yang harus disingkirkan. Klilip (benda kecil yang masuk ke dalam mata) itu adalah Giri. Kerajaan Giri yang diperintah Sunan Giri muda, cucu Sunan Giri Prapen, guru Pangeran Jayalengkara, ayahandanya.
Ketika Pekik kebingungan dengan permintaan tersebut, Pandansari menjelaskan, bahwa hubungan antara ‘guru-murid’ itu sudah terputus setelah meninggalnya Sunan Giri Prapen. Sunan Giri muda itu juga disebutnya sebagai raja yang tidak mengenal keris dan pedang. Dari sinilah nyali Pekik muda mulai menyala.
Musim panen 1636 M, pasangan suami istri itu meminta restu untuk pergi ke Surabaya mempersiapkan pasukan untuk menggempur Giri. Sultan merestuinya dengan memberikan dua pusaka : Bende Mataram dan Tombak Kyai Plered. Pasukan mataram bergerak ke timur untuk bergabung dengan laskar Surabaya, siap berderap menghantam Giri Kedaton. Seluruh rakyat Mataram menyimak dengan gemetar karena sebentar lagi Jawa akan kembali diguncang perang.
Kali ini bukan perang sembarangan, ini perang dua kutub kekuasaan, politik dan spiritual. Bagi Mataram kekuasaan itu harus dalam satu tangan, matahari kembar harus dihilangkan. Nyatalah sudah bahwa pernikahan Pekik dan Pandansari tiga tahun yang lalu menyimpan maksud tersembunyi.
Adipati Sepanjang, orang kepercayaan Pangeran Pekik ‘muda’ menyebar tilik sandi dan memberi laporan, bahwa Kedaton Giri melatih 200 prajurit hebat menghadapi Mataram.
Tetapi Sunan Giri V bukanlah tipe pengecut. Baginya trah wali adalah darah mulia. Suatu hal tabu baginya untuk gentar oleh gertakan penguasa dunia. Apalagi kini Giri mempunyai pengikut baru, Endrasena, seorang mualaf dari ningrat China beserta 200 pasukan pilih tanding. Dengan gemblengan yang dilakukan Endrasena terhadap prajurit Giri dan 200 pengikutnya, maka Sunan Giri muda yakin pasukannya bisa mengatasi serbuan Mataram yang dibantu prajurit Surabaya.
Walaupun Sunan Giri V terkenal ngerti sak durunge winarah (tahu sebelum kejadian) ia tetap terkejut manakala pada malam gulita Pangeran Pekik, sendirian, menghadap ke Giri Kedaton. Tujuannya hanya satu, membujuk agar Giri Kedaton menyerah baik-baik kepada Mataram demi tidak tumpahnya darah sesama muslim.
“Kanjeng Sunan, sejelas benderangnya siang saya harap Kanjeng Sunan dapat memenuhi keinginan kakanda Sultan Agung. Sultan Mataram berjanji akan memberi kemuliaan kepada Giri.” Balairung senyap sejenak.
Kejadian selanjutnya adalah hal yang tidak terduga bagi Pangeran Pekik, “bagaimana Endrasena, sanggupkah kamu membendung Mataram?”
Dengan berapi-api mualaf itu berkata “demi kewibawaan Giri, apapun akan hamba lakukan, Kanjeng!”
Hawa panas menyelimuti Giri Kedaton. Dengan tetap menghaturkan sembah Pekik undur diri. Air matanya jatuh. Ia begitu mencintai Giri beserta orang-orangnya. Tetapi takdir memaksanya bertindak lain. Saat fajar menyingsing, Bende Mataram telah ditabuh bertalu-talu. Perang pun pecah.
Dan benar adanya apa yang dijanjikan Endrasena. Ketika pasukan Mataram yang dipimpin Pangeran Pekik menyerang, pasukan ini kocar-kacir. Pasukan Giri mampu memukul mundur prajurit yang berasal dari dua sekondan, Mataram dan Surabaya.
Saat itulah Pandansari tampil. Putri Mataram ini tahu letak kekalahan pasukan suaminya. Adik Sultan Agung itu mengumpulkan prajurit yang habis kalah perang tersebut. Dia tidak memarahi para prajurit, tetapi justru memberinya hadiah berupa busana indah serta uang. Sehabis itu Pandansari berjanji akan memberi tambahan hadiah lagi sepulang dari medan laga membawa kemenangan.
Akhirnya ‘politik uang’ itu membawa kejayaan. Giri Kedaton berhasil direbut. Sunan Giri V ditangkap. Harta benda Giri diambil sebagai pampasan perang. Dan ini sebuah ironi. Ironi sejarah yang dalam Babad Tanah Jawi ditulis secara liris dan mistis.
Epilog Kedaton Giri dihancurkan oleh laskar gabungan Mataram-Surabaya pimpinan Pangeran Pekik dan Pandansari pada tahun 1636. Sejak itulah institusi dewan wali dihapuskan dalam sejarah Nusantara. Kehilangan dewan wali menjadikan Jawa – kemudian nusantara -- begitu cepat dicaplok oleh Belanda.
Penaklukan Giri Kedaton adalah bentuk persembahkan untuk melegitimasi gelar dari Sultan Agung yang menggetarkan bagi keturunannya : Sultan Agung Hanyokrokusumo Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama Abdullah Muhammad Maulana Abdurrahman Khalifatullah ing Tanah Jawa.
Pada tahun 1646 Amangkurat I (pengganti/anak Sultan Agung) membuat persekutuan dengan VOC. Penggantinya, Amangkurat II tidak lebih sebagai boneka VOC. Jika Sultan Agung menggunakan Pangeran Pekik dan laskar Surabaya untuk mengalahkan Giri Kedaton, maka elit sekarang menggunakan pemilu dan keluguan rakyat Indonesia untuk saling rebut kuasa. Dulu dan sekarang sama saja, politik selalu tentang kekuasaan, dan kekuasaan selalu sulit untuk berbagi. Bukan demi uang, tetapi demi sesuatu yang sesungguhnya absurd : kewibawaan. Sekian. Nuwun.
Sumber : akarasa
Loading...
Post a Comment